Me & My Tomodachi....(2)
Ini adalah cerpen yang dibuat sahabat saya Witty. Kami terakhir ketemu tahun lalu. Salah satu orang yang paling saya rindukan. Dan cerita ini sukses bikin saya nangis...Thankyou wit buat cerita ini, i love it!
The Rain, The Bus, The Alley, and You…
Pukul 17.30
Jumat, hari ke sembilan di tahun 2009
Matahari sudah benar-benar tenggelam ke balik cakrawala. Sinar kemerahannya yang sesaat lalu masih tersisa, kini telah menghilang berganti awan gelap yang bergelung memenuhi langit. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Hujan yang sangat lebat kurasa, mengingat sesorean ini udara terasa begitu lembab dan angin berhembus begitu kencang. Sejak tadi, daun-daun bergerak kacau ke sana-kemari. Begitu pula bunga-bunga di tiap ujung rantingnya. Sebagian besar mereka yang tidak mampu lagi bertahan, akhirnya berguguran, melayang menutupi jalan. Burung-burung perenjak pun tidak lagi tampak bertengger di atas dahan. Semuanya sudah terbang tinggi dan jauh, mungkin mencari peraduan yang nyaman, sebelum Sang Kuasa Alam menjentikkan jemari dan membuat awan di atas sana menumpahkan semua isinya ke permukaan bumi.
Aku duduk dengan manis di dalam bus; di atas kursi tepat berseberangan dengan pintu. Tempat favoritku. Dengan jejeran kursi yang memutari sisi dalam bus dan jendela-jendelanya yang tinggi, sejujurnya ini adalah kendaraan yang agak membosankan bagi penumpangnya. Karena, jika kau tidak membawa novel atau ipod kesayanganmu, hal yang bisa kau nikmati di sisa perjalananmu adalah wajah penumpang lain di seberangmu, atau stiker no smoking pada kaca jendela di atasnya, atau ujung sepatumu sendiri. Tentu saja, kecuali jika kau duduk di kursi tempat di mana aku duduk sekarang. Di sini sama sekali tidak akan terasa membosankan. Berhadapan dengan pintu bus yang lebar sepenuhnya, adalah jendela kaca transparan, kau akan disuguhi pemandangan luar selama perjalanan. Entah bagi orang lain, tapi bagiku ini adalah hal yang menyenangkan. Mengamati apa yang terjadi di luar sana , apa pun itu, seperti menonton sebuah film dengan episode-episode lepas yang bisa kuterjemahkan sesuka hatiku. Begitulah. Aku melihat banyak hal, mengamatinya dan menikmatinya.
Aku melihat para pejalan kaki di trotoar. Dengan tergesa, mereka melangkah; sebagian menunduk, sebagian menudungi wajah. Mereka berusaha menghalau angin yang begitu kuat berhembus, debu yang beterbangan dan dedaunan kering yang berhempasan kesana-sini. Dan aku tersenyum. Aku merasa lega karena ada di tempat yang lebih nyaman. Tanpa khawatir ada angin; tanpa khawatir ada debu.
Aku melihat para pengendara motor di sisi jalan. Mereka begitu serius dengan kemudi masing-masing, berusaha mencari ruang agar bisa saling mendahului. Cuaca yang tengah tidak bersahabat ini memberi godaan yang begitu besar pada mereka untuk secepatnya tiba di tempat tujuan. Dan aku pun tersenyum. Aku senang tengah berada di dalam bus. Di sini aku tidak perlu mengkhawatirkan cuaca, atau apa pun.
Aku melihat para pedagang di pinggir jalan. Mereka terburu-buru memasang berlapis-lapis peneduh untuk dagangan mereka, seolah berlomba dengan kekuatan alam. Mereka bertahan, merapatkan pakaian dan jaket untuk menghalau dinginnya udara; sementara yang lainnya memutuskan untuk pulang ke rumahnya masing-masing mencari kenyamanan dan kehangatan. Dan aku tersenyum. Di dalam bus, aku tidak perlu khawatir akan rasa dingin atau khawatir akan kebasahan karena hujan yang kapan saja bisa turun.
Aku melihat beberapa anak kecil berkejaran di trotoar. Mereka bermain dengan plastik sampah yang melayang-layang terbawa hembusan angin, saling mendorong satu sama lain dan bersenda-gurau. Untuk sesaat, mereka terlihat sangat menikmatinya, sebelum tiba-tiba berlarian dan menghilang ke balik sebuah rumah. Kilatan cahaya petir membuat mereka ketakutan rupanya. Aku pun tersenyum. Berada di dalam sini, aku bisa bersandar dengan tenang di kursiku. Aku tidak perlu mengkhawatirkan gemuruh suara petir; atau apa pun juga.
Lalu, aku melihat jalan itu. Akhirnya bus yang kunaiki tiba di sebuah lampu merah, dan berhenti begitu persis di muka jalan tersebut; hingga keseluruhan jalan bisa terbingkai sempurna di dalam frame pintu berkaca di hadapanku. Tidak ada apa pun di sana . Tidak ada pejalan kaki, pengendara motor, pedagang, atau pun anak-anak yang berkejaran. Hanya jalan lurus yang panjang, kosong dan sepi. Jalan yang begitu kukenal. Jalan tahunan kebelakang sering sekali aku lalui. Teramat sering. Namun sekarang tidak lagi, karena yang selalu kutuju dulu sudah tidak ada lagi di sana kini.
Dan semua ingatan pun muncul kembali. Berurutan, bagai terproyektor tepat di depan mataku. Tanpa cela. Hari-hari itu. Saat-saat itu. Tentang dirimu.
Dan hujan pun turun. Akhirnya. Titik-titiknya membasahi semua hal yang tiada berteduh. Langit pun menggelap sepekat-pekatnya dan angin bertiup sekencang-kencangnya. Dan aku tidak lagi tersenyum.
--Dedicated to some one, whom I always miss every single day since she’s leaved--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar